Melihat anak tumbuh dengan kepekaan atas realitas di sekelilingnya serta memiliki kemampuan kognitif dan afektif yang baik, pastilah membahagiakan bagi orang tua. Cerdas secara intelektual dan emosional akan membantu anak menghadapi tantangan dan persaingan hidup ketika mereka dewasa kelak.
Menulis adalah aktifitas mentransformasi gagasan, ide, perasaan atau bahkan imajinasi ke dalam bentuk tulisan. Tulisan tentu memiliki bentuk dan kaidah tersendiri.
Tapi secara pribadi, saya lebih suka mengabaikan segala jenis dan kaidah itu. Biarlah semua berkembang seiring proses kreatif seorang penulis.
Dunia anak adalah dunia bermain, dunia keingintahuan dan dunia yang penuh pertanyaan. Menulis bisa menjadi medium bagi anak dalam menjalani fase perkembangannya. Namun, tentu sebagai orang tua tak elok jika memaksakan anak menekuni atau menggeluti dunia tertentu.
Kapan Seorang Anak Bisa Belajar Menulis ?
Sedari umur 40 hari saja proses belajar ini sudah bisa kita lakukan. Bagaimana caranya ? Berceritalah, berkisahlah padanya. Cerita yang disampaikan tak melulu dongeng-dongeng klasik atau cerita-cerita populer, bisa tentang apa saja.
Ketika anda melihat sebuah foto atau gambar ceritakan foto atau gambar itu pada anak anda, cerita kan apa maksud dari gambar tersebut. Ah, ngapain melakukan itu, si anak kan belum mengerti ! You are wrong at all.
Anak-anak merekam banyak hal.
Benar ia hanya akan bereaksi dengan menangis tau tertawa, tapi fase perkembangan kapasitas otaknya telah terjadi bahkan ketika ia masih berada dalam kandungan.
Saya pernah membuktikan. Saat anak saya berumur sekitar 40 hari saya sudah mulai sering menunjukkan sampul buku pada anak saya sembari bercerita tentang kemungkinan makna dibalik gambar itu. Hal itu saya lakukan terus menerus, tak peduli apa gambar di sampul buku tersebut.
Lantas apa yang terjadi saat anak saya berumur dua tahun ?
Tiap melihat sampul buku ia akan berkata “Ini ?” atau “Apa ini ?” Ia seolah bertanya tentang makna di balik gambar. Dengan senang hati saya akan bercerita. Banyak ekspresi yang muncul dari anak saya, kadang tak peduli, kadang tertawa, kadang sembari membolak balikkan isi buku.
Saya pernah bercerita tentang presiden yang pernah memimpin Indonesia. Tanpa sadar ia menyimpan memori itu, di usianya yang baru dua tahun ia bisa dengan lancar menyebutkan nama-nama presiden Indonesia dari yang pertama hingga Jokowi.
Kami tak menuntut ia menghafal itu semua, kami hanya bercerita padanya. Ia mau merekam atau tidak jangan dipikirkan. Permasalahannya meski anak saya bisa hafal nama presiden, toh ia belum tahu apa itu presiden. Konsep tentang presiden belum ada di kepalanya. Tapi paling tidak itu adalah stimulus kognitif baginya.
Seiring waktu, pada saatnya ia akan bertanya apa itu presiden. Jangan menjelaskan sesuatu yang terlalu kompleks. Ikuti proses bermainnya. Kadang anak saya membuat corat coret di kertas sembari menyebutkan nama presiden. Misal ia membuat coretan lalu ia menyebut “Su…ar…no” lalu buat garis kusut lainnyanya, lantas menyebut “Su al..to”.
Apa makna garis-garis itu, hanya anak saya yang tahu. Apa saya bertanya padanya ? Tidak, saya hanya mendengar.
Satu lagi, anak-anak cenderung mereplikasi perilaku orang-orang di sekitarnya. Ketika seorang anak sedari kecil kerap melihat orang tuanya membaca buku, ada kecenderungan ia akan suka membaca saat dewasanya. Ketika anak sedari awal terbiasa mendengar cerita dari orang di sekitarnya ia akan cenderung memiliki kemampuan berkisah.
Berkisah adalah dasar penting dalam kemampuan menulis. Penulis yang baik ketika tulisannya bisa berkisah, bisa membuat pembacanya hanyut dalam tulisan.
Mom and Dad masih belum yakin dengan manfaat menulis bagi anak ? Here we go…
Menulis adalah ruang bermain, bagi anak-anak di bawah umur lima tahun. Menulis adalah tentang warna, tentang keasyikan tentang kebebasan gerak tangan ketika ia mencoret-coret. Perlu kah dibatasi saat ia mulai mencorat coret ? Jangan batasi tapi fasilitasi. Siapa media yang aman baginya untuk menulis, apa yang ditulis ? bebaskan sang anak. Nah, dengan melatih seorang anak menulis atau tepatnya mencorat coret, artinya memberi ia sebuah permainan.
Ketika ia menarik garis kusut, sebenarnya ia tengah membangun sebuah imajinasi. Imajinasi adalah sumber kreatifitas.
Menulis sebagai penyeimbang emosi anak. Anak-anak di bawah umur lima tahun cenderung sangat tinggi aktifitas fisiknya. Berlari kesana kemari, loncat sana sini, berteriak dan sebagainya. Apakah hal ini buruk ? Tidak sama sekali.
Aktifitas fisik baik dan indicator bahwa sang anak berada dalam kondisi yang sehat. Tetapi keseimbangan emosi juga patut diperhatikan. Menulis atau mencorat coret adalah aktifitas detail dan menuntut ketenangan sang anak, karena ada unsur konsentrasi dan fokus disana.
Ketika anak duduk belajar menggengam krayon atau pensil, sesungguhya ia tengah mencoba mengontrol emosinya. Proses belajar mengontrol emosi ini sangatlah penting.
Menulis adalah kesempatan orang tua memahami sang anak. Mengapa ? tulisan, apapun bentuknya adalah cerminan apa yang ada dalam pikiran dan imajinasinya. Saat ia mencoret ia tengah mengekspresikan sesuatu. Maka di sisi yang lain, orang tua sebenrnya tengah diberi kesempatan belajar lebih dalam tentang si anak.
Terhadap anak di bawah lima tahun, orang tua cenderung mengintervensi proses belajar menulisnya. Salahkah ini ? Tidak sama sekali. Namun, ketika kita mengintervensi sebenarnya kita tengah menghilangkan kesempatan anak untuk menjadi sosok mandiri dan kreatif.
Anak Mulai Menunjukkan Bakat Menulis
Bakat seorang anak, jika orang tuanya jeli sudah dapat terdeteksi sejak ia berusia lima enam tahun. Meskipun biasanya baru bersifat petunjuk awal.
Bagaiman mendeteksi bakat menulis pada seorang anak ?
Ada kecenderungan, anak yang banyak mengamati punya bakat untuk merekam peristiwa. Perhatikan anak anda, saat berkumpul dengan kawan-kawan seusianya, apakah ia mengambil waktu untuk berada sendirian ? Kalau iya, sebenarnya sang anak sedang melakukan observasi.
Namun, perlu dicatat seorang observer berbeda dengan anak yang cenderung kurang percaya diri dalam bergaul. Observer sifatnya temporer menarik diri dari kerumunan. Sedangkan anak yang kurang percaya diri cenderung terus menerus menarik diri.
Seorang observer punya potensi untuk merekam kejadian dan punya potensi menuangkannya dalam bentuk cerita verbal.
Apakah anak anda mereview apa yang ia lihat ?
Pernahkah anak anda bicara pada anda, “Mama…mama, tadi kakak main dengan si A, B dan C. Terus si B nangis ma, karena kakinya digigit semut.” Atau cerita-cerita lain, misal pulang jalan-jalan, sampai di rumah jagoan anda bilang gini,
“Papa, jalannya tadi rame ya pa, ada motor, mobil, sepeda…”
Kalau hal seperti ini kerap datang dari anak anda, trust me anak anda punya bakat besar dalam menulis.
Satu hal lagi, perhatikan apakah anak anda sering bertanya.
“Papa Tuhan itu apa ?”, “Mama, kenapa pesawat bisa terbang ?”
Dan ratusan pertanyaan lain yang kadang sampai membuat anda tak menyangka pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Bakat anak anda menjadi penulis sangat besar, karena penulis kerap memulai tulisan dari pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.
Respon orang tua dan lingkungan sekitar terhadap anak dengan sikap yang seperti ini, akan menentukan apakah bakat mereka bisa tumbuh atau justru layu sebelum berkembang. Ada beberapa tips sederhana dari DM Indonesia untuk orang tua dengan bakat seperti ini ?
Eksplorasi opini dan ide anak anda. Ketika iya menjelaskan sebuah peristiwa, coba bertanya padanya. Misal dengan pertanyaan “Kalau menurut kakak gimana ?” “Kenapa tadi adik main bola ?” “Asyik gak kak tadi mainnya ?” Kalau anak anda menjawab asyik atau tidak, kemudian respon dengan pertanyaan “Kenapa gak asyik, kak ?”
Ketika anak anda bertanya “Tuhan itu apa sih, pa ?” Jangan langsung menjawab, coba kembalikan pertanyaan ke anak. “Kalau menurut adik bagaimana ?” “Kakak, pendapatnya apa ?”
Jangan pernah menyuruh anak menulis, cukup stimulus mereka dengan menyediakan alat tulis dan kertas atau alat-alat tulis. Letakkan alat tulis tersebut di tempat-tempat yang mudah dijangkau anak. Sebisa mungkin dampingi anak dalam proses kreatifnya.
Jangan berlebihan memuji kemampuan anak dalam menulis. Pujian yang berlebihan akan menjadi racun bagi anak. Namun, terlalu tak peduli juga langkah yang tak tepat. Respon dengan bijak tiap pencapaian anak, beri apresiasi sembari terus beri kritik konstruktif dengan diksi yang tepat.
Selanjutnya Bagaimana ?
Ketika anak memasuki usia tujuh tahun dan bakat menulisnya kian muncul, terus dampingi proses kreatif anak. Ada baiknya ikutsertakan anak dalam kelas-kelas menulis yang khusus diperuntukkan untuk anak. Hal ini bukan semata ingin melahirkan anak yang mampu menulis karyanya kelak, tapi lebih dari itu, menulis adalah medium untuk membentuk karakter.
Lalu bagaimana cara memilih kelas menulis untuk anak ? Simak artikel mengenai tips memilih kelas menulis untuk anak. -Tim DM Indonesia-
Kapan Seorang Anak Bisa Belajar Menulis ?
Sedari umur 40 hari saja proses belajar ini sudah bisa kita lakukan. Bagaimana caranya ? Berceritalah, berkisahlah padanya. Cerita yang disampaikan tak melulu dongeng-dongeng klasik atau cerita-cerita populer, bisa tentang apa saja.
Ketika anda melihat sebuah foto atau gambar ceritakan foto atau gambar itu pada anak anda, cerita kan apa maksud dari gambar tersebut. Ah, ngapain melakukan itu, si anak kan belum mengerti ! You are wrong at all.
Anak-anak merekam banyak hal.
Benar ia hanya akan bereaksi dengan menangis tau tertawa, tapi fase perkembangan kapasitas otaknya telah terjadi bahkan ketika ia masih berada dalam kandungan.
Saya pernah membuktikan. Saat anak saya berumur sekitar 40 hari saya sudah mulai sering menunjukkan sampul buku pada anak saya sembari bercerita tentang kemungkinan makna dibalik gambar itu. Hal itu saya lakukan terus menerus, tak peduli apa gambar di sampul buku tersebut.
Lantas apa yang terjadi saat anak saya berumur dua tahun ?
Tiap melihat sampul buku ia akan berkata “Ini ?” atau “Apa ini ?” Ia seolah bertanya tentang makna di balik gambar. Dengan senang hati saya akan bercerita. Banyak ekspresi yang muncul dari anak saya, kadang tak peduli, kadang tertawa, kadang sembari membolak balikkan isi buku.
Saya pernah bercerita tentang presiden yang pernah memimpin Indonesia. Tanpa sadar ia menyimpan memori itu, di usianya yang baru dua tahun ia bisa dengan lancar menyebutkan nama-nama presiden Indonesia dari yang pertama hingga Jokowi.
Kami tak menuntut ia menghafal itu semua, kami hanya bercerita padanya. Ia mau merekam atau tidak jangan dipikirkan. Permasalahannya meski anak saya bisa hafal nama presiden, toh ia belum tahu apa itu presiden. Konsep tentang presiden belum ada di kepalanya. Tapi paling tidak itu adalah stimulus kognitif baginya.
Seiring waktu, pada saatnya ia akan bertanya apa itu presiden. Jangan menjelaskan sesuatu yang terlalu kompleks. Ikuti proses bermainnya. Kadang anak saya membuat corat coret di kertas sembari menyebutkan nama presiden. Misal ia membuat coretan lalu ia menyebut “Su…ar…no” lalu buat garis kusut lainnyanya, lantas menyebut “Su al..to”.
Apa makna garis-garis itu, hanya anak saya yang tahu. Apa saya bertanya padanya ? Tidak, saya hanya mendengar.
Satu lagi, anak-anak cenderung mereplikasi perilaku orang-orang di sekitarnya. Ketika seorang anak sedari kecil kerap melihat orang tuanya membaca buku, ada kecenderungan ia akan suka membaca saat dewasanya. Ketika anak sedari awal terbiasa mendengar cerita dari orang di sekitarnya ia akan cenderung memiliki kemampuan berkisah.
Berkisah adalah dasar penting dalam kemampuan menulis. Penulis yang baik ketika tulisannya bisa berkisah, bisa membuat pembacanya hanyut dalam tulisan.
Mom and Dad masih belum yakin dengan manfaat menulis bagi anak ? Here we go…
Menulis adalah ruang bermain, bagi anak-anak di bawah umur lima tahun. Menulis adalah tentang warna, tentang keasyikan tentang kebebasan gerak tangan ketika ia mencoret-coret. Perlu kah dibatasi saat ia mulai mencorat coret ? Jangan batasi tapi fasilitasi. Siapa media yang aman baginya untuk menulis, apa yang ditulis ? bebaskan sang anak. Nah, dengan melatih seorang anak menulis atau tepatnya mencorat coret, artinya memberi ia sebuah permainan.
Ketika ia menarik garis kusut, sebenarnya ia tengah membangun sebuah imajinasi. Imajinasi adalah sumber kreatifitas.
Menulis sebagai penyeimbang emosi anak. Anak-anak di bawah umur lima tahun cenderung sangat tinggi aktifitas fisiknya. Berlari kesana kemari, loncat sana sini, berteriak dan sebagainya. Apakah hal ini buruk ? Tidak sama sekali.
Aktifitas fisik baik dan indicator bahwa sang anak berada dalam kondisi yang sehat. Tetapi keseimbangan emosi juga patut diperhatikan. Menulis atau mencorat coret adalah aktifitas detail dan menuntut ketenangan sang anak, karena ada unsur konsentrasi dan fokus disana.
Ketika anak duduk belajar menggengam krayon atau pensil, sesungguhya ia tengah mencoba mengontrol emosinya. Proses belajar mengontrol emosi ini sangatlah penting.
Menulis adalah kesempatan orang tua memahami sang anak. Mengapa ? tulisan, apapun bentuknya adalah cerminan apa yang ada dalam pikiran dan imajinasinya. Saat ia mencoret ia tengah mengekspresikan sesuatu. Maka di sisi yang lain, orang tua sebenrnya tengah diberi kesempatan belajar lebih dalam tentang si anak.
Terhadap anak di bawah lima tahun, orang tua cenderung mengintervensi proses belajar menulisnya. Salahkah ini ? Tidak sama sekali. Namun, ketika kita mengintervensi sebenarnya kita tengah menghilangkan kesempatan anak untuk menjadi sosok mandiri dan kreatif.
Anak Mulai Menunjukkan Bakat Menulis
Bakat seorang anak, jika orang tuanya jeli sudah dapat terdeteksi sejak ia berusia lima enam tahun. Meskipun biasanya baru bersifat petunjuk awal.
Bagaiman mendeteksi bakat menulis pada seorang anak ?
Ada kecenderungan, anak yang banyak mengamati punya bakat untuk merekam peristiwa. Perhatikan anak anda, saat berkumpul dengan kawan-kawan seusianya, apakah ia mengambil waktu untuk berada sendirian ? Kalau iya, sebenarnya sang anak sedang melakukan observasi.
Namun, perlu dicatat seorang observer berbeda dengan anak yang cenderung kurang percaya diri dalam bergaul. Observer sifatnya temporer menarik diri dari kerumunan. Sedangkan anak yang kurang percaya diri cenderung terus menerus menarik diri.
Seorang observer punya potensi untuk merekam kejadian dan punya potensi menuangkannya dalam bentuk cerita verbal.
Apakah anak anda mereview apa yang ia lihat ?
Pernahkah anak anda bicara pada anda, “Mama…mama, tadi kakak main dengan si A, B dan C. Terus si B nangis ma, karena kakinya digigit semut.” Atau cerita-cerita lain, misal pulang jalan-jalan, sampai di rumah jagoan anda bilang gini,
“Papa, jalannya tadi rame ya pa, ada motor, mobil, sepeda…”
Kalau hal seperti ini kerap datang dari anak anda, trust me anak anda punya bakat besar dalam menulis.
Satu hal lagi, perhatikan apakah anak anda sering bertanya.
“Papa Tuhan itu apa ?”, “Mama, kenapa pesawat bisa terbang ?”
Dan ratusan pertanyaan lain yang kadang sampai membuat anda tak menyangka pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Bakat anak anda menjadi penulis sangat besar, karena penulis kerap memulai tulisan dari pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.
Respon orang tua dan lingkungan sekitar terhadap anak dengan sikap yang seperti ini, akan menentukan apakah bakat mereka bisa tumbuh atau justru layu sebelum berkembang. Ada beberapa tips sederhana dari DM Indonesia untuk orang tua dengan bakat seperti ini ?
Eksplorasi opini dan ide anak anda. Ketika iya menjelaskan sebuah peristiwa, coba bertanya padanya. Misal dengan pertanyaan “Kalau menurut kakak gimana ?” “Kenapa tadi adik main bola ?” “Asyik gak kak tadi mainnya ?” Kalau anak anda menjawab asyik atau tidak, kemudian respon dengan pertanyaan “Kenapa gak asyik, kak ?”
Ketika anak anda bertanya “Tuhan itu apa sih, pa ?” Jangan langsung menjawab, coba kembalikan pertanyaan ke anak. “Kalau menurut adik bagaimana ?” “Kakak, pendapatnya apa ?”
Jangan pernah menyuruh anak menulis, cukup stimulus mereka dengan menyediakan alat tulis dan kertas atau alat-alat tulis. Letakkan alat tulis tersebut di tempat-tempat yang mudah dijangkau anak. Sebisa mungkin dampingi anak dalam proses kreatifnya.
Jangan berlebihan memuji kemampuan anak dalam menulis. Pujian yang berlebihan akan menjadi racun bagi anak. Namun, terlalu tak peduli juga langkah yang tak tepat. Respon dengan bijak tiap pencapaian anak, beri apresiasi sembari terus beri kritik konstruktif dengan diksi yang tepat.
Selanjutnya Bagaimana ?
Ketika anak memasuki usia tujuh tahun dan bakat menulisnya kian muncul, terus dampingi proses kreatif anak. Ada baiknya ikutsertakan anak dalam kelas-kelas menulis yang khusus diperuntukkan untuk anak. Hal ini bukan semata ingin melahirkan anak yang mampu menulis karyanya kelak, tapi lebih dari itu, menulis adalah medium untuk membentuk karakter.
Lalu bagaimana cara memilih kelas menulis untuk anak ? Simak artikel mengenai tips memilih kelas menulis untuk anak. -Tim DM Indonesia-